KH. Muhammad Mansyur Al-Batawi merupakan tokoh yang dipandang sebagai guru sejati oleh masyarakat Betawi. Ia sezaman dengan Guru Mughni dari Kuningan. Kedua tokoh inilah yang dikatakan oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” serta merupakan generasi Guru Mujtaba dari kampung Mesteer. Guru Mansyur (1878-1967), merupakan seorang ilmuwan Betawi di zaman penjajahan Belanda. Guru Mansyur memperdalam ilmu agamanya di Mekah selama empat tahun. Kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan disinilah beliau berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Beliau orang yang berhasil menggagalkan pembongkaran masjid Cikini di JI. Raden Saleh tahun 1925. Beliau meninggal hari Jum’at 12 Mei 1967 dan dimakamkan di halaman masjid Al Mansyuriah Kampung Sawah, Jembatan Lima. Tercatat ada 19 karya yang telah dihasilkannya diantaranya: Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf, Tajkirotun nafi’ah fisihati’amalissaun wal fitr, Jadwal faraid serta Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum.
Guru Mansyur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
* Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain:
* Sullamun Nayyiroin
* Khulasatul Jawadil
* Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
* Mizanul I’tidal
* Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
* Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
* Rub’ul Mujayyab
* Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
* Khulasatul Jawadil
* Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
* Mizanul I’tidal
* Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
* Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
* Rub’ul Mujayyab
* Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
Ilmu Falak & Perlawanan terhadap Penjajah
Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.
Lebaran Tong lebaran
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan
Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.
Guru Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya.
Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas Guru dato’. Dato’ lebih dari Guru, dan Dato’ menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah Guru mu’alim. Mu’alim ilmunya masih di bawah Guru. Di bawah Mualim ustadz. Ustadz pengajar pemula agama. Di bawah Ustadz guru ngaji. Guru ngaji mengajar mengenal huruf Arab.
Guru Mansyur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian.
Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenasahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar